Tolok Ukur Sejahtera ala Kapitalisme Versus Islam

Tolok Ukur Sejahtera ala  Kapitalisme Versus Islam

Oleh Dian Puspita Sari
Member AMK

Paska sebulan penuh kaum muslimin berpuasa Ramadan, mereka baru saja usai menuntaskan perayaan hari raya Idul Fitri 1 Syawwal 1443 H dan libur lebarannya di banyak lokasi wisata.
Gambaran euforia rakyat yang mayoritas kaum muslimin menyambut liburan hari raya dan lebaran ini ditanggapi Dinas pariwisata, pemuda, dan olahraga (disparpora) dengan penuh suka cita.

Sebagaimana putaran uang harian di puluhan objek wisata Ngawi selama libur Lebaran yang terasa begitu derasnya. Nilainya ditaksir Dinas pariwisata, pemuda, dan olahraga (disparpora) sebesar Rp 1,5 miliar per hari. ‘’Ini tonggak awal kebangkitan sektor pariwisata yang terpuruk selama dua tahun,’’ kata Kepala Disparpora Ngawi Raden Rudi Sulisdiana, Kamis (5/5).
Taksiran Rp 1,5 miliar tersebut  berasal dari 38 destinasi wisata. Rp 540 juta adalah hasil penjualan tiket per hari. Asumsinya, karcis dibanderol Rp 15 ribu per orang. Jumlah pengunjung pun mencapai kapasitas maksimal. Sisa Rp 1 miliar itu dikeluarkan pengunjung untuk membeli makanan dan oleh-oleh. ‘’Karena kecenderungannya uang untuk jajan melebihi harga tiket,’’ ujarnya. (radarmadiun.jawapos.com, 5/5/2022)

Putaran Uang Lebaran bukan Tolok Ukur Kesejahteraan

Euforia tersebut seakan-akan menunjukkan hidup rakyat sudah sejahtera.
Demikianlah kehidupan kapitalis saat ini memandang apa itu  kesejahteraan. Yakni dari :
1. Terpenuhinya kebutuhan dan jasa tanpa melihat halal haram. 

2. Perputaran uang yang  menggerakan roda ekonomi.
Benarkah putaran uang selama libur lebaran ini dapat dijadikan tolok ukur kesejahteraan?

Perputaran uang saat libur lebaran tidak bisa menjadi tolok  ukur kesejahteraan.
Mayoritas putaran uang lebaran tersebut berasal dari uang Tunjangan Hari Raya (THR), baik yang dimiliki orang tua ataupun anak-anak, yang mereka peroleh untuk kepentingan liburan mereka di tempat-tempat wisata selama hari raya (lebaran). Baik untuk membeli tiket wisata maupun jajan dan oleh-oleh.
Adapun putaran uang harian lebaran di puluhan objek wisata Ngawi yang ditaksir Rp 1,5 miliar per hari hanya menguntungkan pihak-pihak kapitalis, khususnya di sektor pariwisata.
Apabila libur lebaran telah usai dan hari-hari normal untuk  beraktivitas kembali dimulai, maka uang lebaran warga itu pun tidak lagi berputar. Banyak di antara warga yang kembali harus hidup banting tulang,  dalam kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Mereka hidup penuh kekurangan dan keterbatasan.

Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang kesejahteraan?

Tolok Ukur Sejahtera dalam Islam

Dalam Islam, warga negara dikatakan sejahtera apabila kebutuhan hidup mereka terpenuhi dalam beberapa  kriteria.
Pertama, kebutuhan pokok setiap individu;  baik sandang, pangan, papan, pendidikan maupun kesehatannya terpenuhi.
Kedua, kebutuhan mereka akan  agama, jiwa, akal, keturunan dan harta serta rasa aman terjaga dan terlindungi.
Ketiga, negara tidak memiliki tanggungan utang pada pihak swasta atau luar negeri yang menjerat negeri beserta warganya. Negara sanggup menafkahi hidup warganya secara mandiri dan berdaulat dari sumber-sumber daya alam dan aset-aset negara yang dikelola negara untuk kemakmuran rakyat. 
Keempat, pemenuhan hajat hidup rakyat hingga menjadikan mereka sejahtera ini hanya sanggup  dilakukan negara berdasarkan Syariat yang ditetapkan Allah (Islam kafah).

Kesejahteraan warga negara ini pernah dikisahkan di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Alkisah, di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,  Khalifah dari Bani Umayyah mengutus seorang petugas pengumpul zakat, Yahya bin Said untuk memungut zakat ke Afrika. ‘’Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun,’’ ujar Yahya.

Pada saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Seluruh rakyatnya hidup serba  berkecukupan. ‘’Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ ujar Yahya bin Said. Kemakmuran umat, ketika itu,  tidak hanya terjadi di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.

Abu Ubaid mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Gubernur Irak, Hamid bin Abdurrahman, agar membayar semua gaji dan hak rutin di provinsi itu.
‘’Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitulmal masih terdapat banyak uang,’’ tutur sang gubernur dalam surat balasannya.

Khalifah Umar lalu memerintahkan, ‘’Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya!’’ Abdul Hamid kembali membalas surat  Khalifah Umar, ‘’Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitulmal masih banyak uang.’’

Khalifah kembali memerintahkan, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’ Abdul Hamid kembali membalas surat sang Khalifah, ’’Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah.’’ Namun, di Baitulmal ternyata dana yang tersimpan masih banyak.

Khalifah Umar lalu memberikan pengarahan, ‘’Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.’’

Baitulmal sendiri secara resmi berdiri pada zaman kekuasaan Khalifah Umar bin Khaththab. Namun, cikal bakalnya sudah mulai dikenal sejak kepemimpinan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam di Madinah. Namun saat itu,  Baitulmal belum terlembaga secara resmi.

Rasulullah mengalokasikan pemasukan yang diterima untuk pos-pos yang telah ditetapkan secara adil. Pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, pelembagaan Baitulmal juga belum ditetapkan.

Seiring kian meluasnya wilayah kekuasaan Islam, pengelolaan keuangan pun kian kompleks. Atas dasar pertimbangan ini, Khalifah Umar bin Khaththab memutuskan untuk melembagakan Baitulmal secara resmi. Lebih-lebih, wilayah kekuasaan Islam di era kepemimpinan Umar telah  melampaui semenanjung Arab. Kebijakan ini terus berlanjut di masa kekhilafahan bani berikutnya.

Demikianlah Islam memandang hakikat kesejahteraan warga negara. Kesejahteraan hakiki ini niscaya akan kembali kita rasakan tatkala Syariat Islam diterapkan secara kafah dalam naungan Negara berasakan Islam (Khilafah). Dengan Syariat Islam, iman dan takwa akan terwujud secara mayoritas di muka bumi. Saat itulah, limpahan berkah Allah dari langit dan bumi dapat kita rasakan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96)

Wallahu a’lam bishawwab.

Link: https://cendekiapos.com/nasional/tolok-ukur-sejahtera-ala-kapitalisme-versus-islam-13996

Leave a comment